“Belo Hanjagai, Geho Hapaka Belo,,,,, “
“Belo
Rapovia, Belo Rakava,,,,,,,,,,,”
Suku Lindu, demikian sebutan bagi masyarakat pribumi yang mendiami kawasan
ini. Tepatnya di kecamatan Lindu, kabupaten Sigi, provinsi Sulawesi Tengah
terdapat danau luas ini mencakup beberapa desa, diantaranya Puro’o, Langko, Tomado, Anca, Bamba, Paku,
dan Kanavu. Desa - desa ini tersebar mengelilingi Danau Lindu. Wilayah
danau ini terkenal dengan sebutan Enclave
Lindu. Untuk dapat mencapai kawasan ini diperlukan usaha yang lumayan
berat, karena kawasan ini cukup terpencil. Kawasan ini hanya bisa diakses dengan
berjalan kaki menaiki pegunungan selama kurang lebih 5 jam, atau naik motor,
bukan sembarang motor tentunya, karena lebar treck hanya cukup untuk 2
orang pejalan kaki. Penduduk setempat memodifikasi motor mereka sedemikian
hingga untuk dapat digunakan sebagai angkutan barang – barang kebutuhan sehari
– hari. Sebelum ada motor, masyarakat setempat menggunakan kuda sebagai sarana
transportasi. Dan yang istimewa, di kawasan ini tidak ada listrik maupun sinyal
telepon genggam. Masyarakat menggunakan genset dari pukul 18.00 WITA – 23.00
WITA. Serta berkomunikasi dengan radio Orari.
Kawasan ini terletak pada koordinat UTM 0172664 – 9851090. Sebelumnya
kawasan ini pernah terkena bencana longsor dan benar-benar terisolasi, sehingga
sering kali digunakan Helikopter untuk menurunkan bantuan dan dorongan
logistik.
Lansekap Danau Lindu |
Kawasan Lindu memiliki potensi yang tinggi terutama pada bidang seni
budaya, adat – istiadat, dan tentunya potensi alam. Jika kita membahas mengenai
sosial budaya, suku yang mendiami kawasan ini adalah suku Lindu, dengan bahasa
daerah berupa bahasa Lindu, tidak seperti kebanyakan masyarakat Sulawesi Tengah
yang memakai bahasa Kaili. Meski mirip, namun terkadang makna dan artinya
berbeda. Contoh bahasa Lindu yang saya ketahui adalah “Mangande” untuk “Makan”,
“Manginu” untuk “Minum”, “Komiu”
untuk menyebut “Anda”, “Yaku” yang
berarti “Saya”, dan “Tabe’” untuk
“Permisi”.
Adat yang sudah umum seperti halnya yang dianut oleh masyarakat suku Kaili
yang terdapat di Lindu adalah mengenai perilaku saat makan di acara “Makan
Adat”. Acara ini biasa diadakan ketika perayaan tertentu, seperti peresmian
rumah adat atau Lobo, ritual
pertemuan adat, upacara penyembuhan tradisional, dan lain-lain. Aturan dalam
acara makan adat ini adalah barang siapapun mendahului “Tetua Adat” dalam
memulai maupun mengakhiri makan (seperti duluan makan atau duluan mencuci
tangan selesai makan. red) akan dikenai denda berupa satu ekor kerbau. Hukuman
berupa denda tersebut juga berlaku untuk orang yang melukai hewan peliharaan
(menabrak ayam, atau kucing. red) orang lain, serta mencuri hasil pangan
(seperti mencuri buah mangga, buah Durian, maupun buah Coklat. red) milik orang
lain. Tidak bisa kita bayangkan jika kita tidak sengaja menabrak ayam di jalan,
atau melempari buah mangga milik orang, kita harus membayar atau menggantinya
dengan kerbau, >,<.
Masyarakat di kawasan ini juga mengenal kesenian berupa pesta tarian. Pesta
ini selalu diadakan ketika ada pernikahan, ulang tahun, maupun perayaan bahagia
lainnya. Selain itu, juga dijadikan sebagai
ajang kenalan dan pencarĂan jodoh bagi muda – mudi.
Pesta yang sering dilakukan adalah Dero.
Yaitu tarian yang dilakukan dengan berjoget bersama-sama, saling menggenggam
tangan dan membentuk lingkaran. Gerakannya juga sangat sederhana, hanya menggoyangkan
pinggul, tangan dan melangkah ke kanan – kiri sesuai irama musik. Namun Dero
dilakukan sejak malam hari sampai dini hari, terkadang jika banyak yang hadir
bisa dilakukan sampai Subuh. Dero tidak hanya dilakukan oleh beberapa orang,
tapi satu kampung. Tak jarang lingkaran yang dihasilkan
bisa sampai memenuhi lapangan sepak bola. Dero yang terakhir saya ikuti kemarin
sampai – sampai diameternya melebihi satu lapangan sepak bola sehingga harus
dibagi membentuk lingkaran di dalamnya lagi.
Selain Dero masih ada lagi pesta
tari yaitu Rego. Berbeda dengan Dero, tarian ini dilakukan dengan
berpasang-pasangan, dan musik yang mengiringi juga langsung dari alat musik
yang dimainkan. Yang unik adalah, hanya orang-orang khusus lah yang bisa atau
boleh memainkan alat musik Rego. Di
Lindu, mereka memiliki ibu Tanda Bunga dan pak Kunci Rantai yang berperan dalam
acara Rego. (itu nama asli mereka
lhoo,, bukan sebutan atau gelar =D. red)
Uraian diatas semua baru membahas tentang sosial budaya masyarakatnya,
sekarang saya akan mengulas tentang potensi alam dan kearifan lokal yang
melindunginya.
Danau Lindu, merupakan
danau air tawar yang terletak di ketinggian 1000 Mdpl. Didalamnya kita bisa
menjumpai ikan Nila atau Oreochromis
niloticus yang melimpah, ikan Sidat / Sugili atau Anguilla sp. yang notabene mahal di Jepang, dan mereka semua
terlindungi dengan alami oleh budaya masyarakat, yakni aturan adat yang
melarang mereka menangkap ikan – ikan tersebut untuk diperjual belikan. Mereka
boleh mengambil asal secukupnya dan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan
sehari-hari. Yap,! Itulah yang membuat masyarakat disini tetap bisa hidup tanpa
harus turun ke bawah / kota untuk membeli lauk pauk. Selama saya menetap satu
minggu disini, setiap hari menu makannya adalah aneka olahan ikan Nila, baik
pagi, siang, atau malam. Sesekali
di selingi sayur dari pakis, dan paku – pakuan yang diambil di hutan.
Ikan Nila merupakan komoditas utama Danau Lindu |
Selain itu, di kawasan ini Elang Ular Sulawesi, Elang Bondol, dan Burung
Allo sudah menjadi pemandangan biasa, seperti halnya kita melihat burung Gereja
atau Burung “Emprit” di Surabaya. Yang luar biasa adalah saat itu saya
menjumpai Tarsius sp. Atau Monyaet
hantu yang menjadi icon Sulawesi.
Primata mungil endemik Sulawesi ini merupakan hewan nocturnal yang sudah jarang ditemui. Serta pohon Leda yakni pohon
bercorak doreng – doreng, termasuk dalam genus Euchalyptus yang diameter nya bisa mencapai 5 meter.
Euchalyptus atau biasa disebut dengan Pohon Leda dapat tumbuh tinggi lebih dari 5 meter |
Jika teman-teman atau dulur-dulur ingin singgah di wilayah yang masuk dalam
kawasan Taman Nasional Lore Lindu ini, aksesnya cukup mudah. Dari Palu, kita
bisa naik mobil atau taksi, sebutannya di sini jurusan Palu – Kulavi sekitar Rp
25.000,- turun di pertigaan Sadaunta, tepatnya di desa namo, kecamatan kulavi.
Dari sini lah kita bisa mulai berjalan naik menuju lindu atau naik ojek motor dengan
biaya sekitar Rp 50.000 – Rp 60.000,- sekali jalan (tahun 2013). Untuk akomodasi, kita bisa
menginap di cottage atau resort Balai
Taman Nasional Lore Lindu yang terdapat di desa Tomado dengan biaya yang cukup
mahal tentunya, atau jika kita beruntung, kita bisa menginap di rumah warga
setempat. Yang murah disini adalah wisata perahu mengelilingi danau dengan
perahu Lesung. Kita cukup merayu warga setempat untuk ikut mencari ikan di
tengah danau, atau hanya membayar bensin untuk bermain ke Pulau Boola. Dimana
di pulau tersebut terdapat situs Megalith
dan peninggalan kerajaan dan makam Kuno.
Sigi - Sulawesi
Tengah, April 2013
Saraswati
Comments
Post a Comment